Nadiem : “Mengukur Keberhasilan dan Mengukur Ketertinggalan Menjadi Prioritas Utama Tahun Ini.”

Jakarta – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim hadir pada acara Live Online Talkshow #BANGKITBARENG yang diselenggarakan oleh Republika pada Selasa (28/09/21) dalam rangka ulang tahun Republika.co.id yang ke-26.

Pada kesempatan itu, Nadiem mengatakan bahwa pandemi ini telah membuka dan memperbesar berbagai jenis ketimpangan yang sebenarnya sudah ada sebelumnya pada sistem pendidikan kita. Menurutnya, hal yang benar-benar mengkhawatirkan mengenai pandemi ini adalah bahwa sebelum pandemi ini pun kita sudah tertinggal di angka PISA dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni di bidang numerasi, literasi dan sains. Pandemi ini memperburuk kondisi di daerah yang tingkat sosial ekonominya masih rendah, seperti akses internet dan gawai yang sulit memperburuk ketimpangan tersebut. Nadiem mencontohkan selama delapan bulan kunjungannya ke berbagai daerah dalam rangka perlunya segera melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas, ada daerah yang koneksi internet dan gawainya tidak ada tetapi tetap melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) padahal sekolah atau muridnya tidak bisa melakukan PJJ. Seharusnya kondisi semacam ini bisa dicarikan solusi PTM dari dulu.

Menurut Kemendikbudristek, Bank Dunia dan institut-institut riset lainnya telah menemukan bahwa ada kemungkinan besar kita kehilangan antara 0,8 hingga 1,2 tahun pembelajaran. Perlu dikaji lagi apakah dampaknya permanen atau tidak dan yang menjadi kekhawatiran sekarang adalah kalau PJJ terus berlangsung seberapa permanen dampaknya, bukan hanya dampak dari learning loss tetapi juga dampak lain yang potensi resikonya sama yaitu dampak psikis pada anak-anak. Banyak anak-anak yang kesepian dan secara emosional trauma dengan situasi ini. Demikian juga dengan orang tua yang stres di rumah dan menyebabkan berbagai macam masalah dan ketegangan antara orang tua dan anak-anaknya. Jadi, dampak psikologis ini merupakan bagian dari faktor yang menentukan kemampuan anak untuk menjadi terbuka terhadap pembelajaran karena kondisi emosional dan kognitif anak bukanlah hal yang berbeda, namun merupakan hal yang saling mempengaruhi satu sama lain. Saat ini 40 persen sekolah sudah memulai pembelajaran tatap muka. Agar tidak semakin tertinggal, PTM dengan protokol kesehatan yang teraman bisa dilakukan di masing-masing daerah.

Menurut Nadiem, untuk mengejar ketertinggalan itu, semua hal yang kita lakukan sebelum pandemi menjadi prioritas yang lebih penting lagi sekarang. Pertama, kita harus menggunakan berbagai macam filsafat Ki Hajar Dewantara untuk Merdeka Belajar, untuk kembali ke kejayaan kita dulu pada sistem pendidikan kita yang selama periode tertentu itu lumayan bagus, yang memerdekaan rakyat dan pikiran, dimana sekolah mempunyai otonomi yang relatif baik. Akan tetapi, birokrasi dan administrasi pendidikan mulai menjajah sekolah-sekolah kita selama beberapa puluh tahun terakhir. Jadi inilah suatu hal yang akan kita merdekakan tetapi karena pandemi, urgensi hal ini menjadi lebih penting. Sebagai contoh, bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dalam numerasi dan literasi kalau kurikulum kita memaksa semua sekolah dan semua guru untuk mengejar semua jenis standar pancapaian, semua mapel dan topik pembelajaran. Tidak mungkin kita bisa mengejar ketertinggalan kalau guru-guru tidak punya diskresi untuk memilih fokus pada hal yang paling kondisional atau paling tertinggal, dan lain-lain. Jika kita mengejar semuanya, maka kita tidak bisa mengejar ketertinggalan. Hal itu adalah salah satu contoh bagaimana fleksibilitas dalam kurikulum yang memperbolehkan guru untuk mundur 1 atau 2 tahun atau lebih cepat 1 atau 2 tahun, memperbolehkan guru dan Kepala Sekolah untuk memilih berapa persentase waktu untuk fokus mengejar ketertinggalan.

Kedua, digitalisasi sekolah. Kemendikbudristek menyediakan berbagai macam platform, dengan tim teknologi yang akan membuat platform untuk Pendidikan, untuk digunakan oleh guru maupun Kepala Sekolah. Selain itu, pemberian TIK kepada sekolah-sekolah dipandang perlu karena tanpa adanya TIK seperti laptop dan proyektor, platform tersebut hanya akan menjadi sia-sia. Jadi, digitalisasi sekolah dan pemberian TIK kepada sekolah adalah suatu penyeimbang yang sangat penting agar mereka mempunyai akses yang sama kepada informasi konten yang sama. Kemudian, untuk memerdekakan akses ke konten tersebut, yang terpenting untuk mengejar ketertinggalan kita harus menambah “pasukan”. Tidak mungkin guru memberikan one on one mentoring kepada muridnya karena guru tersebut harus mengajar satu kelas penuh. Untuk itu, kemendikbudristek membuat program Kampus Merdeka, yaitu Kampus Mengajar dimana puluhan ribu mahasiswa berbakat ditugaskan untuk turun ke desa atau daerah untuk membantu guru di SD dan SMP sederajat, untuk mendampingi guru dalam membantu anak-anak yang paling tertinggal di bidang numerasi, literasi dan juga pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan bimbingan belajar individu/small group dinilai sangat penting untuk saat ini.

Hal yang terpenting untuk mengejar ketertinggalan adalah mengetahui ketertinggalan itu sudah sampai dimana. Untuk itulah Ujian Nasional dihapus dan digantikan dengan Asesmen Nasional yang fokusnya untuk mengukur numerasi, literasi dan karakter Pancasila. Melalui Asesmen Nasional, kita akan benar-benar melihat dan memetakan sekolah mana yang paling membutuhkan bantuan, yang paling tertinggal dan yang tidak terlalu tertinggal, serta mengapa tidak tertinggal. Pemetaan yang pertama kali ini sedang dilakukan sekarang dari tingkat SD, SMP dan SMA sederajat. Mengukur keberhasilan dan mengukur ketertinggalan menjadi prioritas utama tahun ini. Sejauh mana ketertinggalan pendidikan dibandingkan dengan negara-negara lain, nanti akan diketahui ketika hasil PISA keluar dalam beberapa tahun ke depan. Breakdown atau segmentasi di Indonesia bisa dilihat setelah hasil Asesmen Nasional keluar.

Dari hasil riset yang telah Kemendikbud lakukan pada awal pandemi, diberikan opsi kepada sekolah untuk menggunakan kurikulum darurat. Sebesar 36% sekolah di Indonesia sudah menggunakan kurikulum baru ini. Hal ini menunjukkan secara signifikan bahwa sekolah yang menggunakan kurikulum darurat, ketertinggalannya lebih kecil, lebih ramping, lebih sederhana dan lebih fokus.

Untuk terlaksananya PTM, semua SOP/juknis dan peraturannya sudah sangat jelas. Protokol kesehatan untuk PTM tertera dengan sangat jelas dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri mengenai Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran. Jika terjadi cluster covid-19 maka sekolah bisa mengikuti SOP/juknis di sekolah tersebut dalam penanganannya. Untuk memastikan tidak meningkatkan resiko penularan lebih tinggi, Kemendikbudristek bekerjasama dengan Kemenkes akan melakukan sampling secara reguler di sekolah-sekolah dengan secara pro aktif melakukan testing sampling, dengan menutup sekolah yang positivity rate-nya tinggi. Untuk sekarang, baru sekitar 40 persen sekolah yang melaksanakan PTM. Hal ini membuat Nadiem khawatir mengenai dampak permanen dari PJJ. Menurutnya, sangat membahayakan apabila ada wacana yang mengharuskan vaksin dulu sebelum PTM karena yang akan menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib mayoritas siswa di bawah usia 12 tahun yang belum boleh divaksin. Namun demikian, 80 hingga 85 persen dari masyarakat ingin sekolah dengan pembelajaran tatap muka kembali.

Filsafat Merdeka Belajar dari Ki Hajar Dewantara benar-benar mencetuskan suatu gerakan dalam sistem pendidikan kita yang memerdekakan masyarakat. Formulasi yang berdasarkan filsafat ini dalam aspek penganggaran memberikan kemerdekaan bagi Kepala Sekolah mengenai kebutuhan sekolah apa yang terpenting (dana BOS). Dalam aspek mengajar/kurikulum, memberikan hak bagi guru untuk mundur atau maju sesuai dengan kemampuan siswa. Dalam aspek administratif, Kemendikbudristek memberikan platform-platform dimana guru dan kepala sekolah dapat melakukan pengadaan lewat online seperti halnya belanja di e-commerce/marketplace dimana pelaporannya bersifat otomatis sehingga mereka tidak perlu khawatir terkena masalah.

Terakhir, pesan Nadiem kepada generasi muda “Satu hal yang penting diingat untuk generasi muda adalah untuk bisa mengalami kesulitan di masa yang muda itu adalah suatu anugerah. Itu bukan suatu malapetaka. Kalau di saat kita muda, kita masuk dalam situasi yang sangat menantang, maka kita juga masih punya banyak waktu untuk bisa memulihkan diri kita, karir kita dan situasi kita. Kenapa disebut anugerah? Karena kita mendapatkan itu di masa muda sehingga kita bisa menjadi lebih kekar, lebih kuat karena kita dipukul di waktu muda sehingga kita masih punya banyak waktu dimana kita sudah punya ketangguhan yang baru, kekekaran yang baru, seperti kita nge-gym. Jadi, kemampuan kita untuk berolahraga itu masih cukup panjang waktunya. Seperti konsep tantangan atau challenge atau krisis bagi anak-anak muda sekarang, mereka sudah pasti akan keluar menjadi generasi yang lebih kuat. Generasi yang sudah menghadapi issue ini, ini adalah latihan untuk hidup mereka bahwa tidak apa-apa, kita tidak usah takut pada krisis karena semua krisis itu ujung-ujungnya bisa kita lewati dan dengan itu kita bisa membangun diri sendiri. Jadi, harapan saya generasi muda melihat ini sebagai pembelajaran. Generasi muda melihat ini sebagai suatu hal yang akan meningkatkan daya tahan bantingnya dan ke depannya mereka akan lebih berani mengambil resiko, lebih berani untuk mengikuti isi hati mereka, bukan isi hati orang-orang di sekitar mereka, lebih berani untuk menjunjung tinggi integritas. Mayoritas dari mereka mempunyai integritas untuk tidak mengorbankan integritas untuk kesempatan jangka pendek apapun yang ada di depan mereka dan yang keempat adalah keberanian untuk berjuang untuk negaranya, berjuang untuk masyarakatnya dan untuk rakyatnya. Suatu hal yang dari jaman Ki Hajar Dewantara  sampai sekarang, itu menjadi salah satu karateristik anak muda kita yang tidak pernah hilang, bahkan di masa-masa yang sulit seperti itu api perjuangannya menjadi lebih menyala di hati-hati anak-anak muda kita dan itu harapan saya bahwa krisis ini dapat menyalakan api tersebut.”