Kesetaraan Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas

Sejak kecil, Anni Juwairiyah menderita polio. Kondisi itu memaksanya menggunakan kursi roda kemanapun pergi. Masa-masa bersekolah adalah periode paling berat yang dia rasakan sebagai anak-anak.

Bercerita kepada VOA, dia mengisahkan betapa sakit hatinya ketika melihat anak-anak lain mengikuti pelajaran olahraga atau menari, sementara dia hanya bisa duduk di depan kelas.

Untunglah, orangtuanya di Kebumen, Jawa Tengah melatihnya untuk bermental kuat. Meski menghadapi banyak rintangan untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, nyatanya Anni bisa melewati semua itu. Bahkan hingga ke bangku perguruan tinggi di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah.

“Ini pengalaman pribadi saya sendiri. Orang tua saya tidak pernah menganggap saya itu diasbilitas. Sejak kecil mental saya dibangun seperti saudara-saudara saya yang lain,” kata Anni Juwairiyah.

Kini dia adalah Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia cabang Kalimantan Timur. Dia juga aktif dalam organisasi perempuan Aisyiah, dan mendorong pemerintah daerah membuka sekolah-sekolah inklusif bagi penyandang disabilitas di provinsi itu. Sayang menurutnya, banyak sekolah hanya memasang predikat inklusif tanpa menerapkan sistem yang benar. Penerapannya tidak sesuai dengan harapan penyandang disabilitas.

Padahal menurut Anni, sekolah inklusif memiliki banyak peran bagi penyandang disabilitas. Tidak hanya untuk menimba ilmu, belajar di sekolah umum memberi kesempatan mereka memupuk rasa percaya diri. Anni mengaku sering berdialog dengan banyak orang tua yang tidak mau menyekolahkan anaknya di Sekolah Luar Biasa. Tetapi sejauh ini, belum ada sambutan positif dari lingkungan pendidikan.

“Kalau kita ingin mengarah ke masyarakat inklusif, saya kira lebih tepat kalau sistem pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan inklusif. Jadi tidak dengan sekolah khusus bagi penyandang disabilitas saja. Sistem ini punya kelebihan, seperti penyandang disabilitas akan merasa percaya diri, tidak dibedakan dengan yang lain, dan memperoleh apa-apa seperti yang didapat oleh anak-anak yang lain. Sistem ini juga lebih kompetitif bagi penyandang disabilitas, bersaing dengan siswa lain meski dengan keterbatasan mereka,” lanjutnya.

Pengalaman yang kurang lebih sama dialami oleh Akhmad Soleh. Dia adalah doktor penyandang tuna netra yang lulus dari Universitas Islam Negeri, Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Berbagai penolakan selalu diberikan oleh pengelola sekolah yang ingin dia masuki, sejak SD, SMP, SMA hingga universitas. Tidak jarang, orang tua dan dirinya harus berdebat dengan pimpinan sekolah di Kudus atau Pemalang, Jawa Tengah, tempat dia menghabiskan masa kecil dan remaja.
Banyak sekolah menolak menerima Akhmad Soleh dengan alasan tidak memiliki guru yang bisa mengajar tuna netra. Dia kadang bahkan harus meminta pengelola sekolah supaya menganggap dirinya tidak ada di kelas, dan melaksanakan proses belajar mengajar seperti biasa. Soleh tidak minta untuk diistimewakan dan dianggap punya kebutuhan khusus.

Yang paling dia ingat adalah ketika universitas swasta di mana dia mengenyam pendidikan S1 menolak menerimanya, padahal sudah mengirim surat pemberitahuan diterima sebagai mahasiswa. Soleh telah mengikuti ujian masuk di universitas tersebut dan dinyatakan lulus. Pihak universitas kemudian mengirimkan surat panggilan agar Soleh mengikuti kuliah. Pada hari pertama kedatangan Soleh ke univeritas itu, terjadi penolakan karena baru diketahui Soleh adalah seorang tuna netra.

“Jelas-jelas ada surat panggilan untuk saya, tapi kampus tidak tahu kalau saya penyandang disabilitas. Ketika saya datang, mereka kaget, dan kemudian saya ditolak dengan berbagai alasan, seperti tidak ada dosen untuk penyandang disabilitas. Terus saya omong, anggap saja saya tidak ada. Biarkan saya yang menyesuaikan diri nanti. Apakah saya akan berhasil atau tidak, itu nanti urusan saya. Anggap semua sama dan perlakukan semua mahasiswa dengan cara yang sama,” kata Akhmad Soleh.

Soleh juga menilai, banyak sekolah berlabel inklusif tetapi belum sepenuhnya memahami konsep dan ideologinya. Pembenahan perlu dilakukan, dan yang paling utama adalah memperbaiki pola pikir pengelola sekolah. Penyandang disabilitas tidak perlu diistimewakan, justru mereka harus diperlakukan sama dan setara.

Jika sektor pendidikan lebih ramah, mereka bisa membuktikan bahwa keterbatasan bukan halangan. Anni Juwairiyah adalah aktivis organisasi perempuan dan pernah duduk sebagai anggota DPRD Kalimantan Timur.

Sedangkan Akhmad Soleh mampu meraih gelar doktor, bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan mengajar di sejumlah perguruan tinggi.